Wahhh love at First sight nggak nyangka udah panjang banget ya.
Kali ini lanjut ke Love at First sight part 17 dan sepertinya masih nggak tau endingnya gimana. Happy reading aja ya guys, dan kalau udah lupa sama part sebelumnya. Klik aja disini,
“Ayo masuk,...” ajakan Revan menyadarkanku dari lamunan dan menoleh kearahnya dengan sedikit keraguaan. Revan mengangguk dengan senyumannya dan membuatku ikut tersenyum dengan canggung.
Revan melangkah lebih dulu membuka pintu rumahnya dan segera mempersilahkankau untuk mengikutinya. Aku melirik jam tangan yang masih melingkar dipergelangan tanganku, tepat jam 13:00 wib. Entah kenapa tiba-tiba kegugupan segera mengalir dalam diriku, setelah beberapa kali menyakinkan diriku bahwa ini bukanlah hal yang buruk. Sepulang sekolah, aku menerima ajakan Revan yang mengajakku untuk mampir dirumahnya.
Ini kali pertama aku memasuki Rumah Revan, cukup luas, namun terlihat sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, ralat maksudku tidak ada tanda-tanda orang lain yang berada disana. Terlepas dari kesunyian yang ada, rumah ini terasa cukup nyaman karena bersih dan terawat. Aku sendiri sudah menduganya, karena selama aku menjadi stalker, rumah ini juga termasuk salah satu tempat yang aku perhatikan, meski hanya tampak diluarnya saja.
Entah setan darimana yang merasukiku dan membuatku mengiyakan ajakan Revan mampir kerumahnya hari ini. Padahal aku sendiri tau Revan anak pertama dari dua bersaudara, adiknya sendiri masih disekolah dasar mungkin kelas 4 atau 5 SD. Orang tuanya jarang terlihat sejak aku menjadi stalker, mungkin dikantor karena orang tua Revan termasuk salah satu orang tua yang berkarir. Namun Revan sendiri tidak terlihat kesepian sejauh aku mengenalnya.
“Duduk aja dulu disini ya, aku ambilin minum bentar,” ucapan Revan lagi-lagi menyadarkanku dari lamunan. Aku mengangguk tanpa suara dan dengan hati-hati duduk disofa ruang tamu. Setelah meletakkan tas ku diatas meja, aku melihat dinding disekeliling rumahnya. Terjajar rapi foto-foto yang menarik. Ada foto Revan, foto adiknya juga foto orang tuanya, sementara aku juga menyakini adanya foto Revan yang masih anak-anak disudut dinding yang tak jauh dariku.
Tidak tahan karena penasaran, aku melangkah kearah salah satu bingkai yang aku yakini sebagai Foto revan saat sedang di SD, dengan seragam merah putih dan tersenyum cerah kearah kamera, bahkan saat kecil pria itu tampak mengaggumkan, aku yakin meskipun aku bertemu dengannya saat aku kecil pasti dia akan tetap menjadi cinta pertamaku. Membuatku tersenyum dan mengulurkan tangan mengusap foto berbingkai yang jelas saja sama sekali tidak berdebu.
“Itu foto adikku,” ucapan disampingku membuatku sedikit kaget dan menurunkan tangan yang aku ulurkan dan secara Refleks menggigit jariku karena malu kemudian melangkah mengikuti Revan kembali kesofa ruang tamu.
“Benarkah, aku fikir itu kamu?” tanyaku setelah ikutan duduk tepat didepan Revan.
“Tau dari mana itu aku?” tanya Revan sambil meletakkan nampan berisi air diatas meja dan menyodorkan segelas es jeruk didepanku.
“Setauku adikmu ada tahi lalatnya diwajahnya, Cuma lupa dibagian mananya,” jawabku setelah memperhatikan foto didinding lagi, memastikan tidak adanya tahi lalat difoto yang aku lihat.
“Wah nggak bisa nipu lah kalau begitu ya, tapi ngomong-ngomong kamu pernah ketemu adikku?” tanya Revan yang langsung membuatku terdiam sesaat, segera memutar otak untuk mencari jawaban atas pertanyaannya. Nggak lucu kan kalau akau jawab aku tau saat dulu pernah jadi stalkernya.
“Emm, kapan ya? Lupa dink, hehehe...” tawaku garing untuk sekadar menairkan suasana, Revan menatapku sesaat kemudian ikut tersenyum. Entah apa yang sedang ia fikirkan sekarang aku berharap untuk tidak melanjutkan membahas tentang adiknya.
“Ngomong-ngomong aku ikut kursus masak loh, mau nyobain masakan aku?” tanya Revan sambil berdiri, aku menatapnya dengan alis berkerut. Pria ini ikut kursus masak?
“Kamu bisa masak?” bukannya menjawab aku malah langsung nyablak dengan kalimat yang akhirnya aku rutuki sendiri kenapa bisa keceplosan ngomong tanpa disaring dulu, ya ampun.
“Wahh kamu tidak menduganya bukan? Ayo ikut aku kedapur,” ajak Revan sambil tersenyum dan melangkah menuju dapurnya. Aku membuntuti dari belakang, dan dari sini rumah ini terasa lebih luas dari pada dilihat dari luar. Dapurnya tampak bersih rapi dan terawat, perkakas tersusun rapi meski tidak terlihat mewah, namun aku yakin pemiliknya sendiri memang suka kesederhanaan.
“Sejak kapan kamu ikut kursus masak?” tanyaku setelah tiba didapur dan memperhatikan Revan yang mengeluarkan sayuran dari dalam kulkas, bahkan Revan menggunakan celemek biru yang awalnya ada disamping kulkas.
“Belum lama, beberapa minggu lalu. Dalam satu minggu ada 2 kali pertemuan, jadi paling nggak aku sudah bisa membuat satu masakan yang sempurna,” ucap Revan sambil mengedipkan sebelah matanya kemudian melanjutkan pekerjaannya kembali, kali ini tangannya dengan trampil memotong wortel.
“Apa yang bisa aku bantu?” tanyaku menawarkan diri dan mencuci tangan di wastafel, siap membantu apapun tugas yang akan Revan berikan, meskipun aku bukan koki yang handal, setidaknya aku bisa sekedar memasak untuk makan siang.
“Eits, jangan hancurkan tujuanku membuatmu terpesona nona,” tahan Revan sambil meletakkan saputangan diatas tanganku dan mengeringkannya dengan santai, tanpa menyadari hal itu cukup berpengaruh pada jantungku yang mendadak beraksi dengan cepat, namun sepertinya Revan tidak mempermasalahkan kedekatan jarak itu “Aku akan melakukannya dengan cepat, jadi sebaiknya kamu duduk saja disini memperhatikan,” lanjutnya setelah membimbingku kearah samping meja tempat ia meletakkan sayur tadi.
Aku hanya bisa diam saat Revan menarik kursi panjang yang tak jauh darinya dan mendudukanku dikursi itu, membuatku yang dari tadi diam semakin mematung dibuatnya. Revan kembali melanjutkan aktifitasnya yang sempat tertunda, memotong wortel tepat disampingku.
“Apa yang ingin kamu masak?” tanyaku setelah beberapa saat terdiam.
“Aku ingin membuat soup kentang, ini pelajaran pertama saat aku mengikuti kursus. Beberapa team yang lain bisa melakukannya dalam 3 kali pertemuan. Tapi aku butuh waktu lebih lama karena dua minggu terakhir aku selalu membuat masalah ditempat kursus,” jawab Revan yang membuatku mengginggit bibir bawahku mengingat dua minggu terakhir aku menghindarinya. Tapi setelah aku fikir kembali, tidak mungkinkan Revan mengikuti kursus masak karena impian mendapatkan pasangan seorang koki?
“Orang tuaku jarang dirumah, ayah termasuk pria businessman sementara ibu menjadi asistennya. Dari kecil aku sudah diajarkan untuk mandiri, sering ditinggal sendiri mengharuskanku bisa segalanya. Awalnya cukup sulit, tapi akhirnya terbiasa. Aku menolak adanya pembantu dirumah ini, karena aku bisa menyediakan makanan sendiri, sekadar untuk aku dan adikku saat orang tuaku bekerja, aku bisa melakukannya,” cerita Revan sambil memanaskan air untuk soup kentangnya.
“Lalu untuk beres-beres?” tanyaku sambil memperhatikan sekeliling, melihat betapa rapinya ruangan ini membuatku menyakini seberapa rajin pemiliknya. Sebagai ibu yang bekerja pasti cukup lelah saat tetap diharuskan untuk mengurus keluarga.
“Tidak terlalu sulit untuk membersihkan tempat yang jarang ada orang yang membuat berantakan, saat akhir minggu ibuku akan melakukannya atau terkadang aku ikut membantu saat ibuku harus bekerja, bagaimanapun aku memang sudah diajarkan begitu dari kecil,” jawab Revan yang kali ini sedang mengupas kentang. Aku melihat kagum kearahnya, sejak menjadi stalker dulu aku tidak menyadari hal itu.
“Bagaimana, kamu sudah cukup terpesona denganku bukan?” pertanyaan Revan kali ini tentu saja membuat pipiku memerah, menyadari aku bahkan sudah terpesona jauh sebelum mengetahui kepribadian pria ini. Meskipun begitu aku tidak terlalu kaget, melihat kriterianya selama ini yang tampak selalu ceria dan bersemangat bahkan sikap dewasa yang sering ia tunjukkan.
“Cukup terpesona tentunya,” jawabku sambil tersenyum. Menyadari nada bicara Revan yang sebelumnya bercanda, sepertinya tambahan point untuk pria ini, humornya menyenangkan.
“Harus,” ucap Revan terdengar tegas “Aku sudah berusaha keras untuk menikmati kelebihanku agar bisa membuatmu terpesona. Bahkan aku ikut kursus memasak atas impian seseorang,” lanjut Revan sambil mengedipkan matanya kearahku sekilas setelah kemudian kembali fokus pada kentang ditangannya.
“Apa kelemahanmu?” tanyaku beberapa saat.
“Tidak ada, aku pria yang bisa segalanya,” jawab Revan yang kemudian tertawa, seolah menertawakan ucapannya sendiri, bangga akan apa yang sudah ada dalam dirinya.
“Nah, itu kekuranganmu... Kurang rendah diri,” ucapku sambil tertawa, Revan makin tertawa mendengarnya. Tanpa membantah ucapanku, sepertinya ia memang pria berhumor tinggi. Cukup untuk membuatku makin terpesona, yahh sepertinya tidak ada yang membuatku lebih terpesona dari pada ini.
“Selesai, aku yakin kamu akan langsung jatuh cinta. Aku sudah berusaha keras untuk membuatmu terpesona,” ucap Revan sambil meletakkan piring didepanku yang langsung membuatku tersenyum cukup berterimakasih.
Revan duduk dimeja makan didepanku dan mempersilahkan aku untuk menikmati hidangan yang telah ia ciptakan. Ada nasi hangat, ikan saos, soup kentang, goreng jamur, telor ceplok dan tumis kangkung. Cukup untuk membuat perutku yang keroncongan berontak minta diisi, bahkan baunya benar-benar menggunggah selera. Aku menyendok nasi kepiring dan kemudian menukar piring berisi itu dengan piring kosong didepan Revan, setidaknya ini yang bisa aku lakukan, kemudian aku menyedok soup kentang kedalam mangkok dan memberikannya pada Revan, setelah berdoa aku mencicipi soup buatannya.
Aku terdiam sesaat dan menatap kearah Revan yang ternyata sedang menatap penuh harap kearahku. Aku tidak menunjukkan expresi apapun kemudian kembali memakan sesendok soup lagi, kemudian meletakkan sendokku diatasnya. Aku melipat kedua tanganku dan siap berkomentar kearah Revan yang masih memperhatikanku, bahkan wajahnya yang lucu semakin bertambah lucu dengan kerutan didahinya. Penasaran dengan apapun komentar dariku setelah mencicipi masakannya.
“Kamu yakin bisa membuatku jatuh cinta dengan soup ini?” tanyaku dengan nada datar kearah Revan, kali ini wajah kekecewaan jelas terpancar dari matanya, sedikit keterkejutan mendengar komentarku.
“Apakah rasanya seburuk itu?” tanya Revan dan kali ini gantian ia yang mencicipi soup buatannya, ia terdiam sesaat. Seolah berusaha untuk merasakan apapun keanehan dalam soup buatannya, kemudian ia menatapku penuh tanya, bingung harus berexpresi bagaimana dengan rasa yang dia sendiri rasakan.
“Aku yakin kamu benar,” ucapku kemudian sambil tersenyum. Dan siap menikmati soup didepanku dengan lahap, sepertinya baru kali ini aku memakan soup buatan tangan yang seenak ini. Meskipun aku tidak bisa membuatnya, aku sangat suka memakannya “Sepertinya aku memang jatuh cinta,” lanjutku tanpa sadar dan kembali menikmati soup dimangkokku hingga tidak bersisa.
“Ah sepertinya aku lupa memakan nasiku, boleh aku tambah soupku lagi?” tanyaku sambil menatap kearah Revan yang kali ini baru aku sadari bahwa Revan masih diam menatapku, bahkan soup didepannya tidak tersentuh. Tunggu, apakah pria ini tetap dalam posisinya selama aku menghabiskan makananku. Astaga, bagaimana expresi rakusku menikmati soup buatannya. Bagiamana kalau Revan mendadak ilfeel dengan kelakuanku ini.
“Sorry, aku kurang sopan ya, abis masakanmu menganggu kinerja fikiranku, dan aku langsung jatuh cinta dengan masakanmu saat pertama kali mencicipinya,” ucapku kemudian dan setelah meminum segelas air putih disampingku untuk menghindari kecanggungan. Entah apa yang sedang pria itu fikirkan saat ini.
“Oh, kamu jatuh cinta dengan masakanku. Hahahha sepertinya aku terlalu berharap, lain kali aku akan membuatmu lebih terpesona, ayo makan...” ucap Revan sambil meletakkan ikan dipiringnya dan siap menikmati makan siangnya.
Perlahan aku kembali menyendok soup kemangkokku, mengisinya dengan penuh. Dan memanjakan lidahku dengan rasa yang istimewa. Diam-diam merutuki diriku sendiri bisa-bisanya keceplosan mengatakan aku jatuh cinta dengannya. Sebelum suasana menjadi canggung aku berusaha untuk mengobrol bebas sambil makan dan Revan menjawabnya dengan ceria, seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya. Pria ini menyenangkan, komentarku dalam hati.
Bersambung...
Berlanjut ke Cerpen cinta love at first sight part 18
Detail cerita Love at First Sight
Kali ini lanjut ke Love at First sight part 17 dan sepertinya masih nggak tau endingnya gimana. Happy reading aja ya guys, dan kalau udah lupa sama part sebelumnya. Klik aja disini,
Cerpen Cinta Love at First Sight |
Love at First Sight
“Ayo masuk,...” ajakan Revan menyadarkanku dari lamunan dan menoleh kearahnya dengan sedikit keraguaan. Revan mengangguk dengan senyumannya dan membuatku ikut tersenyum dengan canggung.
Revan melangkah lebih dulu membuka pintu rumahnya dan segera mempersilahkankau untuk mengikutinya. Aku melirik jam tangan yang masih melingkar dipergelangan tanganku, tepat jam 13:00 wib. Entah kenapa tiba-tiba kegugupan segera mengalir dalam diriku, setelah beberapa kali menyakinkan diriku bahwa ini bukanlah hal yang buruk. Sepulang sekolah, aku menerima ajakan Revan yang mengajakku untuk mampir dirumahnya.
Ini kali pertama aku memasuki Rumah Revan, cukup luas, namun terlihat sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, ralat maksudku tidak ada tanda-tanda orang lain yang berada disana. Terlepas dari kesunyian yang ada, rumah ini terasa cukup nyaman karena bersih dan terawat. Aku sendiri sudah menduganya, karena selama aku menjadi stalker, rumah ini juga termasuk salah satu tempat yang aku perhatikan, meski hanya tampak diluarnya saja.
Entah setan darimana yang merasukiku dan membuatku mengiyakan ajakan Revan mampir kerumahnya hari ini. Padahal aku sendiri tau Revan anak pertama dari dua bersaudara, adiknya sendiri masih disekolah dasar mungkin kelas 4 atau 5 SD. Orang tuanya jarang terlihat sejak aku menjadi stalker, mungkin dikantor karena orang tua Revan termasuk salah satu orang tua yang berkarir. Namun Revan sendiri tidak terlihat kesepian sejauh aku mengenalnya.
“Duduk aja dulu disini ya, aku ambilin minum bentar,” ucapan Revan lagi-lagi menyadarkanku dari lamunan. Aku mengangguk tanpa suara dan dengan hati-hati duduk disofa ruang tamu. Setelah meletakkan tas ku diatas meja, aku melihat dinding disekeliling rumahnya. Terjajar rapi foto-foto yang menarik. Ada foto Revan, foto adiknya juga foto orang tuanya, sementara aku juga menyakini adanya foto Revan yang masih anak-anak disudut dinding yang tak jauh dariku.
Tidak tahan karena penasaran, aku melangkah kearah salah satu bingkai yang aku yakini sebagai Foto revan saat sedang di SD, dengan seragam merah putih dan tersenyum cerah kearah kamera, bahkan saat kecil pria itu tampak mengaggumkan, aku yakin meskipun aku bertemu dengannya saat aku kecil pasti dia akan tetap menjadi cinta pertamaku. Membuatku tersenyum dan mengulurkan tangan mengusap foto berbingkai yang jelas saja sama sekali tidak berdebu.
“Itu foto adikku,” ucapan disampingku membuatku sedikit kaget dan menurunkan tangan yang aku ulurkan dan secara Refleks menggigit jariku karena malu kemudian melangkah mengikuti Revan kembali kesofa ruang tamu.
“Benarkah, aku fikir itu kamu?” tanyaku setelah ikutan duduk tepat didepan Revan.
“Tau dari mana itu aku?” tanya Revan sambil meletakkan nampan berisi air diatas meja dan menyodorkan segelas es jeruk didepanku.
“Setauku adikmu ada tahi lalatnya diwajahnya, Cuma lupa dibagian mananya,” jawabku setelah memperhatikan foto didinding lagi, memastikan tidak adanya tahi lalat difoto yang aku lihat.
“Wah nggak bisa nipu lah kalau begitu ya, tapi ngomong-ngomong kamu pernah ketemu adikku?” tanya Revan yang langsung membuatku terdiam sesaat, segera memutar otak untuk mencari jawaban atas pertanyaannya. Nggak lucu kan kalau akau jawab aku tau saat dulu pernah jadi stalkernya.
“Emm, kapan ya? Lupa dink, hehehe...” tawaku garing untuk sekadar menairkan suasana, Revan menatapku sesaat kemudian ikut tersenyum. Entah apa yang sedang ia fikirkan sekarang aku berharap untuk tidak melanjutkan membahas tentang adiknya.
“Ngomong-ngomong aku ikut kursus masak loh, mau nyobain masakan aku?” tanya Revan sambil berdiri, aku menatapnya dengan alis berkerut. Pria ini ikut kursus masak?
“Kamu bisa masak?” bukannya menjawab aku malah langsung nyablak dengan kalimat yang akhirnya aku rutuki sendiri kenapa bisa keceplosan ngomong tanpa disaring dulu, ya ampun.
“Wahh kamu tidak menduganya bukan? Ayo ikut aku kedapur,” ajak Revan sambil tersenyum dan melangkah menuju dapurnya. Aku membuntuti dari belakang, dan dari sini rumah ini terasa lebih luas dari pada dilihat dari luar. Dapurnya tampak bersih rapi dan terawat, perkakas tersusun rapi meski tidak terlihat mewah, namun aku yakin pemiliknya sendiri memang suka kesederhanaan.
“Sejak kapan kamu ikut kursus masak?” tanyaku setelah tiba didapur dan memperhatikan Revan yang mengeluarkan sayuran dari dalam kulkas, bahkan Revan menggunakan celemek biru yang awalnya ada disamping kulkas.
“Belum lama, beberapa minggu lalu. Dalam satu minggu ada 2 kali pertemuan, jadi paling nggak aku sudah bisa membuat satu masakan yang sempurna,” ucap Revan sambil mengedipkan sebelah matanya kemudian melanjutkan pekerjaannya kembali, kali ini tangannya dengan trampil memotong wortel.
“Apa yang bisa aku bantu?” tanyaku menawarkan diri dan mencuci tangan di wastafel, siap membantu apapun tugas yang akan Revan berikan, meskipun aku bukan koki yang handal, setidaknya aku bisa sekedar memasak untuk makan siang.
“Eits, jangan hancurkan tujuanku membuatmu terpesona nona,” tahan Revan sambil meletakkan saputangan diatas tanganku dan mengeringkannya dengan santai, tanpa menyadari hal itu cukup berpengaruh pada jantungku yang mendadak beraksi dengan cepat, namun sepertinya Revan tidak mempermasalahkan kedekatan jarak itu “Aku akan melakukannya dengan cepat, jadi sebaiknya kamu duduk saja disini memperhatikan,” lanjutnya setelah membimbingku kearah samping meja tempat ia meletakkan sayur tadi.
Aku hanya bisa diam saat Revan menarik kursi panjang yang tak jauh darinya dan mendudukanku dikursi itu, membuatku yang dari tadi diam semakin mematung dibuatnya. Revan kembali melanjutkan aktifitasnya yang sempat tertunda, memotong wortel tepat disampingku.
“Apa yang ingin kamu masak?” tanyaku setelah beberapa saat terdiam.
“Aku ingin membuat soup kentang, ini pelajaran pertama saat aku mengikuti kursus. Beberapa team yang lain bisa melakukannya dalam 3 kali pertemuan. Tapi aku butuh waktu lebih lama karena dua minggu terakhir aku selalu membuat masalah ditempat kursus,” jawab Revan yang membuatku mengginggit bibir bawahku mengingat dua minggu terakhir aku menghindarinya. Tapi setelah aku fikir kembali, tidak mungkinkan Revan mengikuti kursus masak karena impian mendapatkan pasangan seorang koki?
“Orang tuaku jarang dirumah, ayah termasuk pria businessman sementara ibu menjadi asistennya. Dari kecil aku sudah diajarkan untuk mandiri, sering ditinggal sendiri mengharuskanku bisa segalanya. Awalnya cukup sulit, tapi akhirnya terbiasa. Aku menolak adanya pembantu dirumah ini, karena aku bisa menyediakan makanan sendiri, sekadar untuk aku dan adikku saat orang tuaku bekerja, aku bisa melakukannya,” cerita Revan sambil memanaskan air untuk soup kentangnya.
“Lalu untuk beres-beres?” tanyaku sambil memperhatikan sekeliling, melihat betapa rapinya ruangan ini membuatku menyakini seberapa rajin pemiliknya. Sebagai ibu yang bekerja pasti cukup lelah saat tetap diharuskan untuk mengurus keluarga.
“Tidak terlalu sulit untuk membersihkan tempat yang jarang ada orang yang membuat berantakan, saat akhir minggu ibuku akan melakukannya atau terkadang aku ikut membantu saat ibuku harus bekerja, bagaimanapun aku memang sudah diajarkan begitu dari kecil,” jawab Revan yang kali ini sedang mengupas kentang. Aku melihat kagum kearahnya, sejak menjadi stalker dulu aku tidak menyadari hal itu.
“Bagaimana, kamu sudah cukup terpesona denganku bukan?” pertanyaan Revan kali ini tentu saja membuat pipiku memerah, menyadari aku bahkan sudah terpesona jauh sebelum mengetahui kepribadian pria ini. Meskipun begitu aku tidak terlalu kaget, melihat kriterianya selama ini yang tampak selalu ceria dan bersemangat bahkan sikap dewasa yang sering ia tunjukkan.
“Cukup terpesona tentunya,” jawabku sambil tersenyum. Menyadari nada bicara Revan yang sebelumnya bercanda, sepertinya tambahan point untuk pria ini, humornya menyenangkan.
“Harus,” ucap Revan terdengar tegas “Aku sudah berusaha keras untuk menikmati kelebihanku agar bisa membuatmu terpesona. Bahkan aku ikut kursus memasak atas impian seseorang,” lanjut Revan sambil mengedipkan matanya kearahku sekilas setelah kemudian kembali fokus pada kentang ditangannya.
“Apa kelemahanmu?” tanyaku beberapa saat.
“Tidak ada, aku pria yang bisa segalanya,” jawab Revan yang kemudian tertawa, seolah menertawakan ucapannya sendiri, bangga akan apa yang sudah ada dalam dirinya.
“Nah, itu kekuranganmu... Kurang rendah diri,” ucapku sambil tertawa, Revan makin tertawa mendengarnya. Tanpa membantah ucapanku, sepertinya ia memang pria berhumor tinggi. Cukup untuk membuatku makin terpesona, yahh sepertinya tidak ada yang membuatku lebih terpesona dari pada ini.
Love at First Sight
“Selesai, aku yakin kamu akan langsung jatuh cinta. Aku sudah berusaha keras untuk membuatmu terpesona,” ucap Revan sambil meletakkan piring didepanku yang langsung membuatku tersenyum cukup berterimakasih.
Revan duduk dimeja makan didepanku dan mempersilahkan aku untuk menikmati hidangan yang telah ia ciptakan. Ada nasi hangat, ikan saos, soup kentang, goreng jamur, telor ceplok dan tumis kangkung. Cukup untuk membuat perutku yang keroncongan berontak minta diisi, bahkan baunya benar-benar menggunggah selera. Aku menyendok nasi kepiring dan kemudian menukar piring berisi itu dengan piring kosong didepan Revan, setidaknya ini yang bisa aku lakukan, kemudian aku menyedok soup kentang kedalam mangkok dan memberikannya pada Revan, setelah berdoa aku mencicipi soup buatannya.
Aku terdiam sesaat dan menatap kearah Revan yang ternyata sedang menatap penuh harap kearahku. Aku tidak menunjukkan expresi apapun kemudian kembali memakan sesendok soup lagi, kemudian meletakkan sendokku diatasnya. Aku melipat kedua tanganku dan siap berkomentar kearah Revan yang masih memperhatikanku, bahkan wajahnya yang lucu semakin bertambah lucu dengan kerutan didahinya. Penasaran dengan apapun komentar dariku setelah mencicipi masakannya.
“Kamu yakin bisa membuatku jatuh cinta dengan soup ini?” tanyaku dengan nada datar kearah Revan, kali ini wajah kekecewaan jelas terpancar dari matanya, sedikit keterkejutan mendengar komentarku.
“Apakah rasanya seburuk itu?” tanya Revan dan kali ini gantian ia yang mencicipi soup buatannya, ia terdiam sesaat. Seolah berusaha untuk merasakan apapun keanehan dalam soup buatannya, kemudian ia menatapku penuh tanya, bingung harus berexpresi bagaimana dengan rasa yang dia sendiri rasakan.
“Aku yakin kamu benar,” ucapku kemudian sambil tersenyum. Dan siap menikmati soup didepanku dengan lahap, sepertinya baru kali ini aku memakan soup buatan tangan yang seenak ini. Meskipun aku tidak bisa membuatnya, aku sangat suka memakannya “Sepertinya aku memang jatuh cinta,” lanjutku tanpa sadar dan kembali menikmati soup dimangkokku hingga tidak bersisa.
“Ah sepertinya aku lupa memakan nasiku, boleh aku tambah soupku lagi?” tanyaku sambil menatap kearah Revan yang kali ini baru aku sadari bahwa Revan masih diam menatapku, bahkan soup didepannya tidak tersentuh. Tunggu, apakah pria ini tetap dalam posisinya selama aku menghabiskan makananku. Astaga, bagaimana expresi rakusku menikmati soup buatannya. Bagiamana kalau Revan mendadak ilfeel dengan kelakuanku ini.
“Sorry, aku kurang sopan ya, abis masakanmu menganggu kinerja fikiranku, dan aku langsung jatuh cinta dengan masakanmu saat pertama kali mencicipinya,” ucapku kemudian dan setelah meminum segelas air putih disampingku untuk menghindari kecanggungan. Entah apa yang sedang pria itu fikirkan saat ini.
“Oh, kamu jatuh cinta dengan masakanku. Hahahha sepertinya aku terlalu berharap, lain kali aku akan membuatmu lebih terpesona, ayo makan...” ucap Revan sambil meletakkan ikan dipiringnya dan siap menikmati makan siangnya.
Perlahan aku kembali menyendok soup kemangkokku, mengisinya dengan penuh. Dan memanjakan lidahku dengan rasa yang istimewa. Diam-diam merutuki diriku sendiri bisa-bisanya keceplosan mengatakan aku jatuh cinta dengannya. Sebelum suasana menjadi canggung aku berusaha untuk mengobrol bebas sambil makan dan Revan menjawabnya dengan ceria, seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya. Pria ini menyenangkan, komentarku dalam hati.
Bersambung...
Berlanjut ke Cerpen cinta love at first sight part 18
Detail cerita Love at First Sight
- Judul cerpen : Love at First Sight
- Penulis : Mia mulyani
- Panjang : 1.690 Word
- Serial : Part 17
- Genre : Cinta, Romantis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar