Mumpung lagi senggang, dan sepertinya ide lagi berkeliaran diingatan, jadi sekalian aja deh dicurahkan dalam cerpen Love at First Sight lanjutan kali ini ya.
Untuk yang sudah lupa sama part sebelumnya boleh langsung diklik disini. Dan over all, happy reading yaaa...
“Kenapa kamu menghindariku?” pertanyaan Revan membuat tanganku terhenti saat sedang memutuskan untuk merapikan poni rambutnya yang tampak berantakan tertiup angin, Revan masih menutup matanya dipangkuanku, aku melirik jam yang tertera dipergelangan tangan menandakan sudah 20 menit berlalu.
“Sudah bangun?” tanyaku mengalihkan perhatian.
“Sejak 5 menit yang lalu, aku terbangun karena mendengar detak jantungmu yang tampak berontak mau keluar,” senyuman menggoda dari bibir Revan membuatku menatapnya malu, bahkan Revan membuka matanya yang langsung bertatapan denganku, dengan cepat aku berdiri yang tanpa sempat melanjutkan ucapannya Revan terjatuh dibawah kursi, karena tidak bisa menahan keseimbangannya dan mengaduh kesakitan. Untung saja taman dibelakang sekolah terdapat rumput hijau yang luas, tidak membuat baju seragam Revan kotor.
“Astaga, apa yang kamu lakukan tidur dirumput begitu?” tanyaku sambil menahan tawa sambil jongkok pasang wajah tampa dosa, Revan menatap tajam kearahku.
“Sama sekali tidak lucu,” komentar Revan sambil duduk dan mengusap-usap punggungnya yang sepertinya terasa sakit.
“Baiklah, aku minta maaf. Coba kulihat mana yang sakit?” tanyaku sambil tersenyum menandakan permintaan maaf sebagai ucapan sambil lalu saja kemudian meraih tangan Revan dan melihat memar dibagian telapak tangannya, sepertinya itu terjadi karena ia berusaha untuk menahan tubuhnya.
“Kamu melukai tanganku,” ucap Revan dengan nada kesal.
“Ini tidak terluka, hanya sedikit memar. Dan itu terjadi karena ulahmu sendiri,” ucapku tidak mau kalah dengan nada datar tanpa expresi, kemudian meraih air mineral diatas kursi yang tadi kubawa. Menggunakannya untuk membersihkan kedua tangan Revan, aku melakukannya tanpa suara meski aku sadar Revan tidak melepaskan tatapannya dariku, aku merogoh saputangan disaku kemejaku dan mengeringkan tangan Revan.
“Kenapa kamu menghindariku?” tanya Revan kembali setelah lama terdiam, mengingat pertanyaannya tadi sama sekali tidak kujawab. Aku terdiam sesaat tanpa menatapnya, kemudian berdiri.
“Sepertinya waktu istirahat sudah berakhir, aku akan kekelas terlebih dahulu,” ucapku sambil berdiri dan siap melangkah pergi, namun cekalan ditanganku membuatku kembali menoleh kearah Revan yang tampak sedang menatapku kosong, aku tidak tau apa yang sedang ia fikirkan. Terlihat tanpa expresi, kemudian ia menghembuskan nafas seolah mengalah dengan perdebatan yang berada difikirannya sendiri, masih dengan menahan tanganku Revan ikut berdiri.
“Baiklah, aku tidak akan bertanya apapun, tidak untuk membuatmu lagi-lagi bungkam dan menghindar. Apa ini cukup untuk membuatmu kembali menatapku?” pertanyaan Revan asli membuat mataku membualat, tidak menyangka kalimat itu yang akan keluar dari mulutnya. Aku terdiam menatapnya tidak percaya.
“Ohh ayolah, aku berjanji. Aku tidak akan menanyakan lagi apa yang terjadi dua minggu terakhir, yang penting sekarang kamu sudah kembali. Sekarang aku sudah bisa menemuimu lagi kan?” tanya Revan kembali, dan kali ini perlahan aku mengangguk. Kehabisan kata-kata untuk membalas kalimatnya.
“Akhirnya, syukurlaahhh. Aku bisa bernafas lega sekarang, ayo sama-sama kita kekelas,” kembali Revan mengambil insiatif sendiri dan menarik tanganku untuk mengikutinya, bahkan Revan tidak menunggu jawabanku, namun sepertinya ia tau karena aku tidak bisa menjawab. Yaahh aku sudah pernah mengatakan betapa dewasanya sikap pria ini bukan?
“Swiwiwittt... cecieee, ada yang lagi kasmaran nih kayaknya,” bisikan beserta senggolan dilenganku membuatku menoleh kearah Olive yang tampak sedang senyum menggoda kearahku.
“Apaan sih,” kilahku sambil mengalihkan tatapanku darinya dan kembali berusaha untuk memfokuskan pada penjelasan Pak Ridwan didepan.
“Cecieee, senyum-senyum mulu dari tadi, ada berapa banyak bunga yang mekar kali ini? Jadi udah baikan sama Revan?” tanya Olive tanpa menghiraukan aku yang tampak malu mendengar ucapannya. Oh ayolah, aku memang sedang cukup bahagia seolah ingin meledak rasanya, tapi tidak haruskan dia mengetahui secepat itu. Bahkan ketika sedang pelajaran belangsung.
“Nekat kali kamu mengajakku ngobrol saat pelajaran Pak Ridwan, kamu kan tau dia guru Killer,” bisikku berusaha untuk mengalihkan pembicaraan, berusaha sebaik mungkin untuk tidak menarik perhatian sang guru.
“Seharusnya aku yang mengatakan itu, udah tau Pak Ridwan guru Killer, nekat sekali kamu senyum-senyum sendiri sambil mencoret-coret kertas dengan gambar bunga mekar seperti itu saat pelajarannya,” ucapan Olive sepertinya ada benarnya, terbukti dengan gambar bunga dikertas berada diatas mejaku, bahkan pensil sebagai senjatanya masih berada ditanganku, apakah itu artinya aku pelaku yang membuat gambar ini. Dan jika sang guru tau, apa yang akan terjadi akan nasibku dijam pelajaran terakhir ini. Berdiri didepan bendera dengan cuaca yang sedang cerah-cerahnya dan matahari yang bersemangat tepat diatas kepalaku, tidak. Itu ide buruk.
“Ehem,” deheman Pak Ridwan, cukup membuatku dan Olive kembali kealam nyata dan dengan cepat aku menyembunyikan hasil coretan-coretanku yang masih diatas meja, tentunya secepat yang bisa dilakukan saat makhluk killer itu memberikan fokus tatapannya padaku meski hanya sebentar. Astaga, nyawaku dalam taruhannya jika tidak bisa mengendalikan perasaanku.
“Hei, sekarang kita udah bisa pulang bareng kan?” tepukan dibahuku membuatku menoleh, menyadari Revan yang tampak tersenyum bersemangat disampingku, membuat pipiku merona dan terasa panas, makhluk ini kembali membuatku merasa malu.
“Ehem, masih ada aku loh disini. Masa kalian berdua terang-terangan bermesraan didepanku begitu,” ucapan Olive sama sekali tidak membantu, malah membuat pipiku terasa lebih panas.
“Hai Olive, aku memaksamu tidak keberatan kalau aku akan menculik sahabatmu yang satu ini," ucap Revan tanpa melepaskan tangannya yang masih bersender dibahuku.
“Keberatan, bahkan sangat. Enak saja, setelah sekian lama ini makhluk dirasuki setan jomblo dan akhirnya bisa kembali normal, maen culik-culik aja,” tolak Olive tegas, aku terdiam sesaat sejak kapan mereka berdua akrab. Apakah dua minggu terakhir memang terlalu banyak yang aku lewatkan.
“Terimakasih, aku senang mendengarmu mengizinkanku dengan segembira itu. Ayo Devi, ikut denganku. Olive sama sekali tidak keberatan, daaa Olive...” balasan ucapan Revan membuat sebelah alisku terangkat tanda bingung, apakah aku salah dengar. Bahkan aku tidak bisa menolak saat Revan membawaku melangkah lebih dulu meninggalkan Olive sendiri dikoridor dengan wajah kesalnya, seolah mainan kesayangannya telah direbut dengan paksa.
Aku mengikuti langkah Revan keluar sekolah, untungnya pria ini sudah tidak lagi menggelayutkan tangannya dipundaku, setidaknya ia tidak akan bertindak gila dengan tetap melakukannya disekolah bukan? Tapi langkahku terhenti saat melihat sesosok makhluk yang aku kenal berdiri disalah satu tembok sekolah, seolah menunggu seseorang, dari seragamnya aku langsung tau itu bukan seragam sekolahku, dan makhluk itu pastinya tidak akan pernah satu sekolah denganku.
“Apa yang kamu lakukan disini?” tanyaku langsung dengan kesal.
“Hei Devi, lama tidak bertemu. Senang melihatmu kembali, meski tidak dengan seseorang disampingmu,” ucapan David tentu saja membuatku kesal, ternyata diabaikan saat bertanya tidak menyenangkan.
“Jangan cari masalah. Pulang kamu,” usirku langsung.
“Ahh senang akhirnya bisa kamu khawatirkan juga, baiklah-baiklah aku akan pulang. Tapi setelah mengantar pacarku terlebih dahulu, Olive belum pulangkan?” tanya David, masih dengan tampang cerianya, tidak peduli dengan wajah kesalku.
“Pacar? Bukannya dia menolakmu,?” tanyaku langsung.
“Oh iya, kamu kan sahabatnya pasti tau ya. Baiklah, maksudku calon pacarnya. Kamu tidak cemburu kan?” balas David sambil tersenyum.
“Jangan macem-macem sama sahabatku,” ucapku memperingatinya.
“Terimakasih atas supportmu, aku tau kamu akan senang. Aku juga pasti akan berusaha untuk tetap langgeng dengannya. Yasudah hati-hati ya pulangnya, kasian tuh yang nungguin,” ucapan David tentu saja membuatku kesal. Tunggu, apakah setiap pria itu mendengar kalimat yang berbeda setiap apa yang dikatakan, tadi Revan juga melakukan hal yang sama. Aku melirik kearah Revan yang masih disampingku, sedikit menimbang apakah harus meladeni ucapan David lagi atau mengajak Revan pulang.
“Aku tentu saja senang saat kamu lebih memilihku Devi,” ucapan David membuatku bertambah kesal bahkan dengan senyuman menjengkelkannya.
“Anggap saja kamu beruntung kali ini,” ucapku kesal dan mengajak Revan untuk pergi. Yakin jika melawan pria itu malah akan menambah kekesalanku lebih parah lagi dan itu tentu saja tidak baik untuk Revan. Dasar pria menyebalkan, gerutuku dalam hati.
“Astaga, aku fikir kali ini selesai. Masih ada saja penganggu yang tersisa,” keluhan Revan membuatku menoleh, kaget baru kali ini sepertinya aku melihat pria ini kesal. Apakah ini sisi dirinya yang lain, senang bisa mengetahui lebih banyak tentangnya. Namun aku tidak mengerti maksudnya saat langkahnya melambat digerbang sekolah.
“Hei Revan, aku sudah menunggumu dari tadi. Kita pulang bareng lagi kan?” pertanyaan dengan nada manja itu membuatku mengerti akan keluhan Revan tadi, kali ini makhluk kecentilan ini yang datang. Entah kenapa bukannya kesal aku malah berusaha untuk menahan senyuman yang sempat tersungging melihatnya, oh ayolah kalau Revan menganggap Aura sebagai penganggu itu artinya dia lebih memilihku bukan?
“Hei Aura, maaf sekali tidak bisa. Seperti yang kamu lihat, aku akan pulang bareng Devi,” ucapan Revan terdengar lembut, bahkan ia menambahkan senyuman dibibirnya, aku sendikit heran ternyata pria ini juga bisa pura-pura manis disaat ia jelas-jelas tadi tampak kesal.
“Oh begitu, padahal aku sudah menunggumu dari tadi. Jadi aku meminta sopirku untuk pulang duluan, dan aku tidak tau lagi kapan dia akan datang lagi. Kalau aku harus menelfonnya lagi, apakah itu artinya aku harus menunggu lagi. Bahkan perutku terasa lapar,” ucapan Aura membuatku memutar mata eneg mendengarnya, alasan yang sama. Bahkan dengan nada manja itu benar-benar membuatku risih “Devi, kamu...”
“Kantin masih buka,” ucapku memotong kalimat Aura, sengaja tidak membiarkannya untuk meminta izin dariku dengan tampang sok manisnya, tapi kalimat itu tentu saja membuat kedua makhluk yang ada bingung mendengarnya “Maksudku, kamu bilang lapar bukan? Kasian kalau kamu memaksa untuk pulang sekarang nanti kamu bisa sakit. Karena sopirmu membutuhkan waktu untuk datang setelah ditelfon, aku rasa akan lebih baik kalau kamu mengisi tenagamu dulu dikantin, bagaimana?” lanjutku dengan senyum yang sebisa mungkin kupaksakan.
“Devi benar, kamu bisa menunggu disana. Kalau begitu aku sama Devi pulang duluan yaa,” ucap Revan sambil tersenyum atau kalau aku tidak salah melihat bahkan dia berusaha untuk menahan tawa, Aura sampai kehabisan kalimat. Dan dengan expresi kesal yang jelas ketara, aku yakin dia akan memakiku saat itu juga. Namun sebelum aku mendengar sepatah pun ucapannya Revan terlebih dahulu membawaku pergi. Bahkan Revan tidak susah-susah untuk menunggu balasan dari ucapan Aura.
Entah kenapa kali ini aku seolah bisa bernafas lega, terasa menyenangkan rasanya. Meskipun sebelumnya aku tidak percaya dengan apa yang terjadi, melihat Revan yang lebih memilihku dari pada Aura, sepertinya ada beberapa hal yang memang tidak aku ketahui kebenarannya, dan tidak semua yang aku fikirkan itu benar. Seperti yang Olive katakan sebelumnya, meskipun aku tau Aura kesal namun aku sama sekali tidak bisa menahan rasa bahagiaku. Maaf Aura, sepertinya kali ini aku tidak bisa mengalah lagi.
Bersambung...
Berlanjut ke cerpen cinta love at First sight part 17
Detail cerita Love at First Sight
Untuk yang sudah lupa sama part sebelumnya boleh langsung diklik disini. Dan over all, happy reading yaaa...
Cerpen Cinta Love at First Sight Part ~ 16 |
Love at First Sight
“Kenapa kamu menghindariku?” pertanyaan Revan membuat tanganku terhenti saat sedang memutuskan untuk merapikan poni rambutnya yang tampak berantakan tertiup angin, Revan masih menutup matanya dipangkuanku, aku melirik jam yang tertera dipergelangan tangan menandakan sudah 20 menit berlalu.
“Sudah bangun?” tanyaku mengalihkan perhatian.
“Sejak 5 menit yang lalu, aku terbangun karena mendengar detak jantungmu yang tampak berontak mau keluar,” senyuman menggoda dari bibir Revan membuatku menatapnya malu, bahkan Revan membuka matanya yang langsung bertatapan denganku, dengan cepat aku berdiri yang tanpa sempat melanjutkan ucapannya Revan terjatuh dibawah kursi, karena tidak bisa menahan keseimbangannya dan mengaduh kesakitan. Untung saja taman dibelakang sekolah terdapat rumput hijau yang luas, tidak membuat baju seragam Revan kotor.
“Astaga, apa yang kamu lakukan tidur dirumput begitu?” tanyaku sambil menahan tawa sambil jongkok pasang wajah tampa dosa, Revan menatap tajam kearahku.
“Sama sekali tidak lucu,” komentar Revan sambil duduk dan mengusap-usap punggungnya yang sepertinya terasa sakit.
“Baiklah, aku minta maaf. Coba kulihat mana yang sakit?” tanyaku sambil tersenyum menandakan permintaan maaf sebagai ucapan sambil lalu saja kemudian meraih tangan Revan dan melihat memar dibagian telapak tangannya, sepertinya itu terjadi karena ia berusaha untuk menahan tubuhnya.
“Kamu melukai tanganku,” ucap Revan dengan nada kesal.
“Ini tidak terluka, hanya sedikit memar. Dan itu terjadi karena ulahmu sendiri,” ucapku tidak mau kalah dengan nada datar tanpa expresi, kemudian meraih air mineral diatas kursi yang tadi kubawa. Menggunakannya untuk membersihkan kedua tangan Revan, aku melakukannya tanpa suara meski aku sadar Revan tidak melepaskan tatapannya dariku, aku merogoh saputangan disaku kemejaku dan mengeringkan tangan Revan.
“Kenapa kamu menghindariku?” tanya Revan kembali setelah lama terdiam, mengingat pertanyaannya tadi sama sekali tidak kujawab. Aku terdiam sesaat tanpa menatapnya, kemudian berdiri.
“Sepertinya waktu istirahat sudah berakhir, aku akan kekelas terlebih dahulu,” ucapku sambil berdiri dan siap melangkah pergi, namun cekalan ditanganku membuatku kembali menoleh kearah Revan yang tampak sedang menatapku kosong, aku tidak tau apa yang sedang ia fikirkan. Terlihat tanpa expresi, kemudian ia menghembuskan nafas seolah mengalah dengan perdebatan yang berada difikirannya sendiri, masih dengan menahan tanganku Revan ikut berdiri.
“Baiklah, aku tidak akan bertanya apapun, tidak untuk membuatmu lagi-lagi bungkam dan menghindar. Apa ini cukup untuk membuatmu kembali menatapku?” pertanyaan Revan asli membuat mataku membualat, tidak menyangka kalimat itu yang akan keluar dari mulutnya. Aku terdiam menatapnya tidak percaya.
“Ohh ayolah, aku berjanji. Aku tidak akan menanyakan lagi apa yang terjadi dua minggu terakhir, yang penting sekarang kamu sudah kembali. Sekarang aku sudah bisa menemuimu lagi kan?” tanya Revan kembali, dan kali ini perlahan aku mengangguk. Kehabisan kata-kata untuk membalas kalimatnya.
“Akhirnya, syukurlaahhh. Aku bisa bernafas lega sekarang, ayo sama-sama kita kekelas,” kembali Revan mengambil insiatif sendiri dan menarik tanganku untuk mengikutinya, bahkan Revan tidak menunggu jawabanku, namun sepertinya ia tau karena aku tidak bisa menjawab. Yaahh aku sudah pernah mengatakan betapa dewasanya sikap pria ini bukan?
Love at First Sight
“Swiwiwittt... cecieee, ada yang lagi kasmaran nih kayaknya,” bisikan beserta senggolan dilenganku membuatku menoleh kearah Olive yang tampak sedang senyum menggoda kearahku.
“Apaan sih,” kilahku sambil mengalihkan tatapanku darinya dan kembali berusaha untuk memfokuskan pada penjelasan Pak Ridwan didepan.
“Cecieee, senyum-senyum mulu dari tadi, ada berapa banyak bunga yang mekar kali ini? Jadi udah baikan sama Revan?” tanya Olive tanpa menghiraukan aku yang tampak malu mendengar ucapannya. Oh ayolah, aku memang sedang cukup bahagia seolah ingin meledak rasanya, tapi tidak haruskan dia mengetahui secepat itu. Bahkan ketika sedang pelajaran belangsung.
“Nekat kali kamu mengajakku ngobrol saat pelajaran Pak Ridwan, kamu kan tau dia guru Killer,” bisikku berusaha untuk mengalihkan pembicaraan, berusaha sebaik mungkin untuk tidak menarik perhatian sang guru.
“Seharusnya aku yang mengatakan itu, udah tau Pak Ridwan guru Killer, nekat sekali kamu senyum-senyum sendiri sambil mencoret-coret kertas dengan gambar bunga mekar seperti itu saat pelajarannya,” ucapan Olive sepertinya ada benarnya, terbukti dengan gambar bunga dikertas berada diatas mejaku, bahkan pensil sebagai senjatanya masih berada ditanganku, apakah itu artinya aku pelaku yang membuat gambar ini. Dan jika sang guru tau, apa yang akan terjadi akan nasibku dijam pelajaran terakhir ini. Berdiri didepan bendera dengan cuaca yang sedang cerah-cerahnya dan matahari yang bersemangat tepat diatas kepalaku, tidak. Itu ide buruk.
“Ehem,” deheman Pak Ridwan, cukup membuatku dan Olive kembali kealam nyata dan dengan cepat aku menyembunyikan hasil coretan-coretanku yang masih diatas meja, tentunya secepat yang bisa dilakukan saat makhluk killer itu memberikan fokus tatapannya padaku meski hanya sebentar. Astaga, nyawaku dalam taruhannya jika tidak bisa mengendalikan perasaanku.
Love at First Sight
“Hei, sekarang kita udah bisa pulang bareng kan?” tepukan dibahuku membuatku menoleh, menyadari Revan yang tampak tersenyum bersemangat disampingku, membuat pipiku merona dan terasa panas, makhluk ini kembali membuatku merasa malu.
“Ehem, masih ada aku loh disini. Masa kalian berdua terang-terangan bermesraan didepanku begitu,” ucapan Olive sama sekali tidak membantu, malah membuat pipiku terasa lebih panas.
“Hai Olive, aku memaksamu tidak keberatan kalau aku akan menculik sahabatmu yang satu ini," ucap Revan tanpa melepaskan tangannya yang masih bersender dibahuku.
“Keberatan, bahkan sangat. Enak saja, setelah sekian lama ini makhluk dirasuki setan jomblo dan akhirnya bisa kembali normal, maen culik-culik aja,” tolak Olive tegas, aku terdiam sesaat sejak kapan mereka berdua akrab. Apakah dua minggu terakhir memang terlalu banyak yang aku lewatkan.
“Terimakasih, aku senang mendengarmu mengizinkanku dengan segembira itu. Ayo Devi, ikut denganku. Olive sama sekali tidak keberatan, daaa Olive...” balasan ucapan Revan membuat sebelah alisku terangkat tanda bingung, apakah aku salah dengar. Bahkan aku tidak bisa menolak saat Revan membawaku melangkah lebih dulu meninggalkan Olive sendiri dikoridor dengan wajah kesalnya, seolah mainan kesayangannya telah direbut dengan paksa.
Aku mengikuti langkah Revan keluar sekolah, untungnya pria ini sudah tidak lagi menggelayutkan tangannya dipundaku, setidaknya ia tidak akan bertindak gila dengan tetap melakukannya disekolah bukan? Tapi langkahku terhenti saat melihat sesosok makhluk yang aku kenal berdiri disalah satu tembok sekolah, seolah menunggu seseorang, dari seragamnya aku langsung tau itu bukan seragam sekolahku, dan makhluk itu pastinya tidak akan pernah satu sekolah denganku.
“Apa yang kamu lakukan disini?” tanyaku langsung dengan kesal.
“Hei Devi, lama tidak bertemu. Senang melihatmu kembali, meski tidak dengan seseorang disampingmu,” ucapan David tentu saja membuatku kesal, ternyata diabaikan saat bertanya tidak menyenangkan.
“Jangan cari masalah. Pulang kamu,” usirku langsung.
“Ahh senang akhirnya bisa kamu khawatirkan juga, baiklah-baiklah aku akan pulang. Tapi setelah mengantar pacarku terlebih dahulu, Olive belum pulangkan?” tanya David, masih dengan tampang cerianya, tidak peduli dengan wajah kesalku.
“Pacar? Bukannya dia menolakmu,?” tanyaku langsung.
“Oh iya, kamu kan sahabatnya pasti tau ya. Baiklah, maksudku calon pacarnya. Kamu tidak cemburu kan?” balas David sambil tersenyum.
“Jangan macem-macem sama sahabatku,” ucapku memperingatinya.
“Terimakasih atas supportmu, aku tau kamu akan senang. Aku juga pasti akan berusaha untuk tetap langgeng dengannya. Yasudah hati-hati ya pulangnya, kasian tuh yang nungguin,” ucapan David tentu saja membuatku kesal. Tunggu, apakah setiap pria itu mendengar kalimat yang berbeda setiap apa yang dikatakan, tadi Revan juga melakukan hal yang sama. Aku melirik kearah Revan yang masih disampingku, sedikit menimbang apakah harus meladeni ucapan David lagi atau mengajak Revan pulang.
“Aku tentu saja senang saat kamu lebih memilihku Devi,” ucapan David membuatku bertambah kesal bahkan dengan senyuman menjengkelkannya.
“Anggap saja kamu beruntung kali ini,” ucapku kesal dan mengajak Revan untuk pergi. Yakin jika melawan pria itu malah akan menambah kekesalanku lebih parah lagi dan itu tentu saja tidak baik untuk Revan. Dasar pria menyebalkan, gerutuku dalam hati.
“Astaga, aku fikir kali ini selesai. Masih ada saja penganggu yang tersisa,” keluhan Revan membuatku menoleh, kaget baru kali ini sepertinya aku melihat pria ini kesal. Apakah ini sisi dirinya yang lain, senang bisa mengetahui lebih banyak tentangnya. Namun aku tidak mengerti maksudnya saat langkahnya melambat digerbang sekolah.
“Hei Revan, aku sudah menunggumu dari tadi. Kita pulang bareng lagi kan?” pertanyaan dengan nada manja itu membuatku mengerti akan keluhan Revan tadi, kali ini makhluk kecentilan ini yang datang. Entah kenapa bukannya kesal aku malah berusaha untuk menahan senyuman yang sempat tersungging melihatnya, oh ayolah kalau Revan menganggap Aura sebagai penganggu itu artinya dia lebih memilihku bukan?
“Hei Aura, maaf sekali tidak bisa. Seperti yang kamu lihat, aku akan pulang bareng Devi,” ucapan Revan terdengar lembut, bahkan ia menambahkan senyuman dibibirnya, aku sendikit heran ternyata pria ini juga bisa pura-pura manis disaat ia jelas-jelas tadi tampak kesal.
“Oh begitu, padahal aku sudah menunggumu dari tadi. Jadi aku meminta sopirku untuk pulang duluan, dan aku tidak tau lagi kapan dia akan datang lagi. Kalau aku harus menelfonnya lagi, apakah itu artinya aku harus menunggu lagi. Bahkan perutku terasa lapar,” ucapan Aura membuatku memutar mata eneg mendengarnya, alasan yang sama. Bahkan dengan nada manja itu benar-benar membuatku risih “Devi, kamu...”
“Kantin masih buka,” ucapku memotong kalimat Aura, sengaja tidak membiarkannya untuk meminta izin dariku dengan tampang sok manisnya, tapi kalimat itu tentu saja membuat kedua makhluk yang ada bingung mendengarnya “Maksudku, kamu bilang lapar bukan? Kasian kalau kamu memaksa untuk pulang sekarang nanti kamu bisa sakit. Karena sopirmu membutuhkan waktu untuk datang setelah ditelfon, aku rasa akan lebih baik kalau kamu mengisi tenagamu dulu dikantin, bagaimana?” lanjutku dengan senyum yang sebisa mungkin kupaksakan.
“Devi benar, kamu bisa menunggu disana. Kalau begitu aku sama Devi pulang duluan yaa,” ucap Revan sambil tersenyum atau kalau aku tidak salah melihat bahkan dia berusaha untuk menahan tawa, Aura sampai kehabisan kalimat. Dan dengan expresi kesal yang jelas ketara, aku yakin dia akan memakiku saat itu juga. Namun sebelum aku mendengar sepatah pun ucapannya Revan terlebih dahulu membawaku pergi. Bahkan Revan tidak susah-susah untuk menunggu balasan dari ucapan Aura.
Entah kenapa kali ini aku seolah bisa bernafas lega, terasa menyenangkan rasanya. Meskipun sebelumnya aku tidak percaya dengan apa yang terjadi, melihat Revan yang lebih memilihku dari pada Aura, sepertinya ada beberapa hal yang memang tidak aku ketahui kebenarannya, dan tidak semua yang aku fikirkan itu benar. Seperti yang Olive katakan sebelumnya, meskipun aku tau Aura kesal namun aku sama sekali tidak bisa menahan rasa bahagiaku. Maaf Aura, sepertinya kali ini aku tidak bisa mengalah lagi.
Bersambung...
Berlanjut ke cerpen cinta love at First sight part 17
Detail cerita Love at First Sight
- Judul cerpen : Love at First Sight
- Penulis : Mia mulyani
- Panjang : 1.625 Word
- Serial : Part 16
- Genre : Cinta, Romantis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar